Namanya Titik Indonesia

“Bila aku dunia, aku adalah manusia. Bila aku sebuah cerita , aku adalah peran utama”

Aku pernah bertemu dengan setitik indonesia
kebetulan saja aku diajak berbicara
aku khawatir tak mempunyai bahan komedi belaka
untuk memperkilau suasana

Kali pertama aku melihatnya
ia berbaju mewah beberapa tahun lamanya
banyak harta yang dikenakan; kalung, cincin permata
bersama aroma cengkih, dan kau mengalir di mana-mana

Aku selalu berusaha untuk tak bersuara
sekadar tunduk mendengar kesungguhannya
ia hanya tertawa
merasa beruntung mempunyai kawan-kawan yang setia

Aku bertanya sekenanya
karena aku tak tau siapa dia
sepasang sepatu mendekati wajah dunia
saat itulah, ada sesuatu yang mencekam dengan ‘titik indonesia’

Tanjung Priuk, 26 April 2015

Tidak Semudah Itu

“Meluap amarahku setengah mati. Remuk saja tubuh basi ini”

Tentu ini bukan maksudku
merangkul rentetan arwah
menggenggam segenap celah
yang ku jadikan napas surgaku

Aku tak butuh banyaknya massa
saat waktu dihabiskan gelak tawa
saat pilu dibalutkan rasa iba
saat rindu kau tawarkan beribu jasa

Katamu, kita selamanya bersatu
memuja langit saat hujan membasuh waktu
tidak semudah itu saudariku
lihatlah bumi pertiwi semakin lama semakin mengganggu

Mendadak segenap jiwa terombang api
aku paham gerak gerik mulut manismu yang menjadi
meluap amarahku setengah mati
apa yang kau cari saudari? remuk saja tubuh basi ini.

Tj.Priuk 06 Februari 2015

Lingkar Pilu

“Tuhan tahu, kita tak ingin saling beradu”

Aku ingat saat kosong itu
yang kau bumbui gelak tawa sendirimu
kau asik dengan caramu
saat waktu kau jadikan semaumu

Katamu,
ia senyaman sepatu tuamu
dengan langkah sigap merajuk syahdu
tak hentinya kau mendobrak belenggu
yang kau anggap selamanya bersatu

Pandang jemari manismu
berbau busuk menerima takdirmu
berjalan disetapak lingkar pilu
sedang batu saja, jenuh melihat perlakuanmu

Kiranya benar kau sedang merindu
mengelus napsu dibalik benalu
aku tahu kita tak saling beradu
sebab Tuhan tunduk melihat kepasrahanku.

Tj.Priuk, 06 Februari 2015

Sayap Kanan

Teruntuk Luthfiatul Fuadah

“Untung saja, alam memperkenalkan kita”

Saat menjejak tanah
aku melayang bagai bulu panah
layaknya si buta yang hidup semu dalam rentetan sawah
yang dengan mudah mencuat dagu didasar lembah

Aku merasa begitu kecil ditengah kekuasaan
rintik debu mungil dalam tetes celah kendaraan
namun saat itu engkau hadir, membalut aroma dingin
yang merasuk dalam akar jiwa menengguk kegundahan

Ku gali tanah ku lebih dalam
dan ku buka celah untuk ku dapat menggenggam
kau semakin hadir merapat buatku semakin memejam
untuk menyerapmu, mengenalmu bersama dengan alam

Sayap kananku, aku ingin sekali tuli
biar terus mengambang tanpa dengar tersakiti
sekawan tanpa desak yang menjadi
mencacah harga diri yang buat kita terombang api

Semoga awan terus membuka warna baru
memompa cinta dengan darah lembut rindu
sembari aku menuang syahdu
‘untung saja, aku berkenalan denganmu’

Tj.Priuk, 14 Januari 2015

Punggung Merah

Setapak kaki merangkak dalam gulita yang menggebu
Tak ku temu kau dalam biasan kalbu
Yang tampak hanya punggung bersinar merah melabu
Dengan warna gelap membalut sekujur tubuh hingga pada ujung semu

Duhai kau, yang bermanjakan wajah berseri
Tak menjadi penghalang untukku terus bermimpi
Biar liuran magma menghantam ibu pertiwi
Ku pastikan diri mampu menghias isi hati

Dibalik putaran sinar mentari senja
Ku dapati wajah nun indah bersahaja
Dengan tabir rasa yang menyerupai angsa
Ku lepas kau hingga tetap bermuara pada asal mula
Bukan berarti ku hina
Hanya saja bui tak kuasa memaksa benalu hinggap pada layar bermabukan cinta

Tj.Priuk, 11 Januari 2015

Sampah

Oleh: Anisa Rahayu dan Khusnul Chotimah

Pasrahku tak lagi berarah
Terjebak cinta yang kini berubah amarah
Hadirku tak lagi buatmu kembali ajegkan kerah
Karena aku kini hanya sampah
Di bawah alas kakimu yang gagah

Di balik liur rusuh yang berbau busuk
Tatapku tetap melabuh padamu yang kurindu
Biar kau anggap aku sampah yang merapah
Namun raga tak sedikit pun menjauh

Ciputat, 21 Desember 2014

Rinai

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Rinai membersamai penantian sedari tadi
Membuatku berpikir,
Masih perlukah aku menanti?

Kebersamaan kita desas-desus berganti
Bukan dia yang berupa
Namun perjalanan pemilik hati; kamu

Masih ingatkah pada waktu yang sedari dulu berlabuh?
Mengusap tanya pada rindu yang kian menjamu
Terlungkup malu aku mengaku

Hanya pada temaram aku mampu mengadu
Mengaku mau untuk kita lagi berpadu,
Bersamamu

Ciputat, 21 Desember 2014

Ranting

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Dedaunan bergelayut di ranting kayu
Basah dihujani rinai malam kelabu
Kepadamu kehanyaan aku melabuhkan rindu
Seperti ranting bertahan pada pohon yang satu
Karena kamu, sendiriku usah tuk berlaku

Biarkanlah rasaku menari diataskan rindu, padamu
Kepada akar denyutku meniti harap yang tak semu
Menaruh rindu padamu yang tak kunjung sendu
Sampai kapan resah menggelut hati yang lusuh?
Sedari dulu kutitih harap padamu yang menjamu

Ciputat, 21 Desember 2014

Lumpur

Oleh: Khusnul Chotimah dan Luthfiatul Fuadah

Tak jua resap tanah beradu satu menjadi batu
Namun kulihat lumput mengalir deras tanpa sehelai pun tertelan malu
Andai liat dapat saling beradu
Kupastikan kau menjadi saksi atas tunggu yang membisu

Kujejaki lumpur bau dengan saru
Dalam risau hati yang tak punya malu, menuntut arti sebuah rindu
Kurasa harga diri sudah tak perlu,
Saat raga kau regas begitu nafsu

Ciputat, 21 Desember 2014

Gemuruh

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Jiwaku lusuh menatap matamu yang angkuh
Dikoyak sakit yang tak jua berlabuh,
Rasaku bergulat sakit; bergemuruh
Helaian angin serontak hadir
Menarik napas hingga sesak tak kuasa berlabuh

Pada dekap malam, aku berlagu
Menimang rasa yang kutahu pilu
Entah kapan tenggat waktuku berujar rindu
Dalam pertapaanku, sampai datang waktu
Kuharap kau tak lagi semu

Ciputat, 21 Desember 2014